Hakikat Demokrasi
Demokrasi sebagai suatu
sistem telah dijadikan alternatif dalam berbagai tatanan aktivitas
bermasyarakat dan bernegara di berbagai negara. Seperti diakui Moh.Mahfud, ada
dua alasan dipilihnya demokrasi sebagai sistem bermasyarakat dan bernegara. Pertama, hampir semua negara di dunia
ini telah menjadikan demokrasi sebagai asas yang fundamental, kedua, demokrasi sebagai asas kenegaraan
secara esensial telah memberikan arah bagi peranan masyarakat untuk
menyelenggarakan negara sebagai organisasi tertingginya.
Secara etimologis “demokrasi”
terdiri dari dua kata yang berasal dari bahasa Yunani yaitu “demos” yang berarti rakyat dan “cratein” atau “cratos” yang berarti kekuasaan atau kedaulatan. Jadi demos-cratein atau demos-cratos (demokrasi) adalah keadaan dimana dalam system
pemerintahannya kedaulatan berada di tangan rakyat, kekuasaan tertinggi berada
dalam keputusan bersama rakyat, rakyat berkuasa, pemerintahan rakyat dan
kekuasaan oleh rakyat.
Sedangkan
pengertian demokrasi secara terminologi adalah sebagaimana dikemukakan para
ahli sebagai berikut:
a. Joseph
A. Schmeter: “demokrasi merupakan suatu perencanaan instituonal untuk mencapai
keputusan politik dimana individu-individu memperoleh kekuasaan untuk
memutuskan cara perjuangan kompetitif atas suara rakyat”.
b. Sidney
Hook: “demokrasi adalah bentuk pemerintahan di mana keputusan-keputusan
pemerintah yang penting secara langsung atau tidak langsung didasarkan pada
kesepakatan mayoritas yang diberikan secara bebas dari rakyat dewasa”.
c. Philippe
C. Schmitter dan Terry Lynn Karl: “demokrasi sebagai suatu sistem pemerintahan
di mana pemerintah dimintai tanggung jawab atas tindakan-tindakan mereka di
wilayah publik oleh warga negara, yang bertindak secara tidak langsung melalui
kompetisi dan kerjasama dengan para wakil mereka yang telah terpilih”.
d. Henry
B. Mayo: “demokrasi sebagai system politik merupakan suatu sitem yang
menunjukkan bahwa kebijakan umum ditentukan atas dasar mayoritas oleh
wakil-wakil yang diawasi secara efektif oleh rakyat dalam pemilihan berkala
yang didasarkan atas prinsip kesamaan politik dan diselenggarakan dalam suasana
terjaminnya kebebasan politik.
Namun
Affan Gaffar memaknai demokrasi dalam dua bentuk yaitu pemaknaan secara
normatif (demokrasi normatif) dan empirik (demokrasi empirik). Demokrasi
normatif adalah demokrasi yang secara ideal hendak dilakukan oleh sebuah
negara, sedangkan demokrasi empirik adalah demokrasi dalam perwujudannya pada
dunia politik praktis.
Dengan demikian
negara yang menganut sistem demokrasi adalah negara yang diselenggarakan berdasarkan
kehendak dan kemauan rakyat. Dan dari beberapa pendapat di atas dapat
disimpulkan bahwa hakikat demokrasi sebagai suatu sistem bermasyarakat dan
bernegara hakikat demokrasi adalah peran utama rakyat dalam proses sosial dan
politik. Kekuasaan pemerintahan berada di tangan rakyat mengandung pengertian
tiga hal: pertama, pemerintahan dari
rakyat (government of the people); kedua,
pemerintahan oleh rakyat (government
by the people); ketiga pemerintah untuk rakyat (government for the people). Tiga faktor ini merupakan tolak ukur
umum dari suatu pemerintahan yang demokratis.
Pertama,
pemerintah dari rakyat mengandung pengertian bahwa pemerintah yang sah (legitimate government) berarti suatu
pemerintahan yang mendapat pengakuan dan dukungan dari rakyat melalui mekanisme
demokrasi, dan pemilihan umum. Legitimasi bagi suatu pemerintahan sangat
penting karena pemerintah dapat menjalankan amanat yang diberikan oleh rakyat.
Kedua,
pemerintahan oleh rakyat memiki pengertian bahwa suatu pemerintahan menjalankan
kekuasaan atas nama rakyat dan dalam menjalankan kekuasaannya, pemerintah
berada dalam pengawasan rakyat (social
control) yang dilakukan secara
langsung maupun tidak langsung melalui perwakilannya di perlemen. Dengan adanya
pengawasan oleh rakyat akan menghilangkan ambisi otoriterianisme para
penyelenggara negara (pemerintah dan DPR).
Ketiga,
pemerintahan untuk rakyat mengandung pengertian bahwa kekuasaan yang diberikan
oleh rakyat kepada pemerintah harus dijalankan untuk kepentingan rakyat.
Kepentingan rakyat umum harus dijadikan landasan utama kebijakan sebuah
pemerintahan yang demokratis. Untuk itu pemerintah harus menerima aspirasi
rakyat melaui media pers maupun secara langsung dalam merumuskan dan
menjalankan kebijakan dan program-programnya.
Demokrasi:
Pandangan dan Tatanan Kehidupan Bersama
Demokrasi
memerlukan usaha nyata dari setiap warga dan perangkat pendukungnya yaitu
budaya yang kondusif sebagai manifestasi dari suatu kerangka berpikir dan
rancangan masyarakat untuk menjadikan demokrasi sebagai pandangan hidup dalam
kehidupan bernegara baik oleh rakyat maupun pemerintah. Menurut Nurcholis
madjid (Cak Nur), demokrasi bukanlah kata benda, tetapi lebih merupakan kata
kerja yang mengandung makna sebagai proses dinamis. Karena itu demokrasi harus
diupayakan dan biasakan dalam kehidupan sehari-hari. Demokrasi dalam keranga di
atas berarti sebuah proses melaksankan nilai-nilai civility (keadaban) dalam bernegara dan bermasyarakat. Berikut ini
adalah 6 norma demokratis yang dibutuhkan oleh tatanan masyarakat yang
dikemukakan oleh Cak Nur:
Pertama, kesadaran akan pluralisme.
Kesadaran atas kemajemukan membutuhkan tanggapan dan sikap positif secara
aktif. Pengakuan kenyataan perbedaan harus diwujudkan dalam perilaku menghargai
beragam pandangan orang lain. Norma ini dapat mencegah munculnya sikap dan
pandangan hegemoni mayoritas dan tirani minoritas. Kenyataan alamiah
kemajemukan Indonesia dapat dijadikan modal potensial bagi masa depan demokrasi
Indonesia.
Kedua, musyawarah. Musyawarah menuntut keinsyafan
dan kedewasaan warga negara duntuk tulus menerima negosiasi dan
kompromi-kompromi sosial dan politik secara damai dan bebas dalam setiap
keputusan bersama. Dalam bermusyawarah, setiap orang harus menerima kemungkinan
terjadinya “partial functioning of
ideals” yaitu belum tentu seluruh pikiran seseorang atau kelompok diterima
dan dilaksanakan sepenuhnya. Konsekuensinya adalah kesediaan untuk menerima
pandangan yang berbeda dari orang lain.
Ketiga, cara haruslah sejalan dengan
tujuan. Demokrasi pada hakekatnya harus dilakukan secara santun dan beradab
yakni melalui proses demokrasi yang dilakukan dengan sukarela. Demokrasi
membutuhkan topangan akhlak terpuji (akhlaqul karimah) warga negara. Akhlak
demokrasi salah satunya dapat dibuktikan dengan komitmen untuk tidak
menghalalkan segala cara, seperti dengan kekerasan dan tindakan anarkis demi
mencapai tujuan-tujuan politiknya.
Keempat, norma kejujuran dalam
pemufakatan. Suasana masyarakat demokratis dituntut untuk menjalankan
permusyawaratan yang jujur dan sehat untuk mencapai kesepakatan yang memberi
keuntungan semua pihak. Faktor ketulusan dalam usaha bersama mewujudkan tatanan
sosial yang baik untuk warga negara merupakan hal yang sangat penting dalam
demokrasi.
Kelima, kebebasan nurani (freedom conscience), persamaan hak dan
kewajiban (egalitarianism). Norma ini
harus diintegrasikan dengan sikap percaya pada iktikad baik orang dan kelompok
lain (trust attitude). Norma ini juga
akan berkembang dengan baik jika ditopang oleh pandang optimis terhadap manusia
untuk saling terbuka, saling berbagi kemaslahatan bersama atau untuk melakukan
kompromi dengan pihak-pihak yang berbeda.
Keenam, trial and error (percobaan dan
salah). Demokrasi merupakan sebuah proses tanpa henti. Demokrasi membutuhkan
percobaan-percobaan dan kesediaan semua pihak untuk menerima kemungkinan
ketidaktepatan atau kesalahan dalan praktik berdemokrasi.
Namun
demikian, sekalipun demokrasi memperbolehkan kebebasan, demokrasi lebih
mengutamakan keberlangsungan ketertiban dan kemaslahatan umum. Dengan kata
lain, demokrasi membutuhkan ktegasan negara untuk bertindak tegas terhadap
anasir-anasir berkedok kebebasan yang mengancam ketertiban umum. Ketegasan juga
harus dilakukan pemerintah pusat manakala mendapatkan peraturan daerah (perda)
yang dibuat oleh pemerintah di bawahnya bertentangan dengan prinsip universal
demokrasi (kemajemukan dan kebaikan bersama) dan semangat UUD 45 serta dasar
negara Pancasila. Demi tegaknya prinsip demokrasi, keterlibatan warga negara sangatlah
penting untuk mendorong negara bersikap tegas terhadap pandangan dan kebijakan
yang bernuansa primordial.
Sekilas Sejarah
Demokrasi
Konsep demokrasi
lahir dari tradisi pemikiran Yunani tentang hubungan negara dan hukum, yang
mempraktikkan demokrasi langsung antara abad ke-6 SM sampai abad ke4 SM.
Demokrasi langsung yaitu hak rakyat untuk membuat keputusan politik dijalankan
secara langsung oleh seluruh warga negara berdasarkan prosedur mayoritas.
Demokrasi langsung tersebut berjalan secara efektif karena negara kota Yunani
Kuno merupakan sebuah kawasan politik yang kecil dengan jumlah penduduk sekitar
300.000 orang. Demokrasi Yunani Kuno berakhir pada abad pertengahan, dan
masyarakat Yunani Kuno pada saat itu berubah menjadi masyarakat feodal.
Demokrasi
tumbuh kembali di Eropa menjelang akhir abad pertengahan, ditandai oleh
lahirnya Magna Charta (Piagam besar) yaitu
suatu piagam yang memuat perjanjian antara kaum bangsawan dan Raja John
Inggris. Terdapat dua hal yang sangat mendasar pada piagam ini:
Pertama,
adanya
pembatasan kekuasaan raja, kedua, hak
asasi manusia lebih penting daripada kedaulatan raja. Selain itu ada gerakan
pencerahan (renaissance) dan
reformasi yang menghidupkan kembali minat pada sastra dan Yunani Kuno.
Gerakan
reformasi merupakan penyebab lain kembalinya tradisi demokrasi di Barat, seteah
sempat tenggelam pada abad pertengahan. Gerakan reformasi adalah gerakan yang
kritis terhadap kebekuan doktrin gereja di Eropa. Selanjutnya gerakan ini
dikenal dengan gerakan Protestanisme. Gerakan ini dimotori oleh Martin Luther
yang menyerukan kebebasan berpikir dan bertindak. Gerakan ini bertumpu pada
rasionalitas yang berdasar pada hukum alam dan kontrak sosial. Politik
didasarkan pada perjanjian yang mengikat kedua belah pihak.
Lahirnya istilah kontrak sosial
antara yang berkuasa dan yang dikuasai tidak lepas dari dua filsuf Eropa, John
Locke (Inggris) dan Montesquieu (Prancis) yang pemikirannya berpengaruh pada
gagasan pemerintah demokrasi. Menurut Locke (1632-1704), hak-hak politik rakyat
mencakup hak atas hidup, kebebasan dan hak memiliki; sedangkan menurut
Montesquieu (1689-1744), sistem pokok yang dapat menjamin hak-hak politik
tersebut adalah melalui prinsip trias
politica. Trias Politica adalah
suatu sistem pemisahan kekuasaan: legislatif, eksekutif, dan yudikatif.
Konstitusi demokrasi yang bersandar pada Trias
Politica ini berakibat pada munculnya konsep Welfare State (negara kesejahteraan) yang memprioritaskan
kinerjanya pada peningkatan kesejahteraan warga negara.
Demokrasi di
Indonesia
A. Periode
1945-1959
Demokrasi
ini disebut juga dengan demokrasi parlementer. Sistem parlementer mulai berlaku
sebulan sesudah kemerdekaan diproklamirkan. Namun demikian, model demokrasi ini
dianggap kurang cocok untuk Indonesia karena ketiadaan budaya demokrasi yang
sesuai dengan sistem ini akhirnya melahirkan fragmentasi politik berdasarkan
afiliasi kesukuan dan agama. Akibatnya, pemerintah yang berbasis pada koalisi
politik ini sangat mudah pecah. Hal ini mengakibatkan destabilisasi politik
nasional bahkan mengancam integrasi nasional yang sedang dibangun.
Faktor-faktor disintegratif di atas, ditambah dengan kegagalan partai-partai
dalam majelis konstituante mendorong
Presiden Soekarno untuk mengeluarkan dekrit presiden pada 5 Juli 1945. Dengan
demikian demokrasi parlementer berakhir.
B. Periode
1959-1965
Periode
ini dikenal dengan sebutan Demokrasi Terpimpin (Guided Democracy). Ciri-ciri demokrasi ini adalah dominasi politik
presiden dan berkembangnya pengaruh komunis dan peranan tentara (ABRI) dalam
panggung politik nasional. Hal ini disebabkan oleh lahirnya dekrit Presiden 5
Juli 1959 untuk membentuk kepemimpinan yang kuat. Namun sejak diberlakukan
Dekrit Presiden telah terjadi penyimpangan konstitusi oleh presiden. Ketetapan
ini telah membatalkan pembatasan waktu lima tahun sebagaimana ketetapan UUD
1945 yaitu dengan mengangkat Ir. Soekarno sebagai presiden seumur hidup.
Terpusatnya kekuasaan hanya pada diri pemimpin mengakibatkan tidak adanya ruang
kontrol sosial dan check and balance dari
legislative terhadap eksekutif.
Akhir
dari sistem Demokrasi Terpimpin Soekarno yang berakibat pada perseteruan
politik-ideologis antara PKI dan TNI adalah peristiwa berdarah yang dikenal
dengan Gerakan 30 September 1965. Pada peristiwa ini sejumlah pimpinan teras
TNI dibunuh secara mengenaskan oleh kader PKI.
C. Periode
1965-1998
Periode
ini merupakan masa pemerintahan Presiden Soeharto dengan orde barunya atau
disebut juga dengan Demokrasi Pancasila. Tujuannya adalah untuk meluruskan
kembali penyelewengan terhadap UUD 1945 yang terjadi dalam masa demokrasi
terpimpin. Demokrasi pancasila menawarkan tiga komponen demokrasi yaitu: Pertama, demokrasi dalam bidang politik,
kedua, demokrasi dalam bidang
ekonomi, dan yang ketiga, demokrasi
dalam bidang hokum. Namun dalam praktik kenegaraan dan pemerintahan, penguasa
orde baru bertindak jauh dari prinsip-prinsip demokrasi. Menurut M.Rusli Karim,
penyebabnya adalah: 1. dominannya peranan militer, 2. birokratisasi dan
sentralisasi pengambilan keputusan politik, 3. pengebirian peran dan fungsi
partai politik, 4. campur tangan pemerintah dalam berbagai urusan partai
politik dan publik, 5. politik masa mengambang, 6. monolitisasi ideologi
negara, 7. inkorporasi lembaga non pemerintah.
D. Periode
1998-sekarang
Periode
ini sering disebut dengan istilah periode paska-Orde Baru. Periode ini erat
hubungannya dengan gerakan Reformasi yang menuntut pelaksanaan demokrasi dan
HAM secara konsekwen. Demokrasi yang diusung oleh gerakan reformasi ini adalah
demokrasi yang sesungguhnya dimana hak rakyat merupakan komponen inti dalam
mekanisme dan pelaksanaan pemerintahan yang demokratis. Wacana demokrasi
paska-Orde Baru erat kaitannya dengan pemberdayaan masyarakat Madani dan
penegakan HAM secara sungguh-sungguh.
Unsur-Unsur
pendukung Tegaknya Demokrasi
Beberapa unsur
penting penopang tegaknya demokrasi antara lain: 1. negara hukum, 2. masyarakat
madani, 3. aliansi kelompok strategis.
1.
Negara Hukum (rechtsstaat atau the rule
of law)
Negara
hukum memiliki pengertian bahwa negara memberi perlindungan hukum bagi warga
negara melalui pelembagaan peradilan yang bebas dan tidak memihak serta
penjaminan hak asasi manusia. Ciri-ciri negara hukum adalah sebagai berikut: 1.
adanya perlindungan konstituonal, artinya menjamin hak individu, konstitusi
harus pula menentukan cara procedural untuk untuk memperoleh atas hak-hak yang
dijamin 2. adanya badan kehakiman yang bebas dan tidak memihak, 3. adanya
pemilu yang bebas, 4. adanya kebebasan menyatakan pendapat, 5. adanya kebebasan
berserikat dan beroposisi, 6. adanya pendidikan kewarganegaraan.
Kekuasaan yang dilakukan pemerintah
Indonesia harus berdasarkan undang-undang dan adanya kontrol dari rakyat
terhadap instituisi negara dalam menjalankan kekuasaan.
2.
Masyarakat Madani (Civic Society)
Masyarakat
madani yakni sebuah masyarakat dengan ciri-cirinya yang terbuka, egaliter,
bebas dari dominasi dan tekanan negara. Posisi penting masyarakat madani dalam
pembangunan demokrasi adalah adanya partisipasinya masyarakat dalam
proses-proses pengambilan keputusan yang dilakukan oleh negara atau pemerintah.
Masyarakat madani mensyaratkan adanya keterlibatan warga negara melalui
asosiasi-asosiasi sosial. Keterlibatan warga negara memungkinkan tumbuhnya
sikap terbuka, percaya, dan toleran antar individu dab kelompok yang berbeda.
Sikap-sikap ini sangat penting bagi pembangunan politik demokrasi.
3.
Aliansi Kelompok Strategis
Aliansi kelompok
strategis terdiri dari partai politik (Political
Party), kelompok gerakan (movement
group) dan kelompok penekan atau kelompok kepentingan (pressure/intrest group) termasuk di dalamnya pers yang bebas dan
bertanggung jawab. Ketiga kelompok ini sangat besar penanannya terhadap proses
demokratisasi sepanjang organisasi-organisasi ini memerankan dirinya secara
kritis, damai dan konstituonal dalam menyuarakan misi organisasi atau
kepentingan anggotanya. Hal yang merupakan indikator bagi tegaknya demokrasi
adalah keberadaan kalangan cendekiawan dan kebebasan pers untuk mewujudkan
system demokratis dalam penyelenggaraan negara dan pemerintahan.
Parameter
Tatanan Kehidupan Demokratis
Suatu
pemerintahan dikatakan demokratis bila dalam mekanisme pemerintahannya
melaksanakan prinsip-prinsip demokrasi. Prinsip-prinsip dasar demokrasi itu
adalah: persamaan, kebebasan, dan pluralisme. Demokrasi mempunyai parameter
sebagai ukuran apakah suatu negara atau pemerintahan dapat dikatakan demokratis
atau sebaliknya. Ada tiga aspek yang dapat dijadikan landasan untuk mengukur
sejauh mana demokrasi itu berjalan dalam suatu negara. Ketiga aspek tersebut
adalah:
Pertama,
pemilihan umum sebagai proses pembentukan pemerintah. Kedua, susunan kekuasaan
negara, yakni kekuasaan negara dijalankan secara distributif untuk menghindari
penumpukan kekuasaan dalam satu tangan atau satu wilayah. Ketiga, kontrol rakyat,
yaitu suatu relasi kuasa yang berjalan secara simetris, memiliki sambungan yang
jelas, dan adanya mekanisme yang memungkinkan kontrol dan keseimbangan (check
and balance) terhadap kekuasaan yang dijalankan eksekutif dan legislatif.
Partai Politik dan
Pemilu dalam Kerangka Demokrasi
1.
Partai Politik
Partai
politik memiliki peran yang sangat strategis terhadap proses demokratisasi
yaitu selain sebagai struktur kelembagaan politik yang anggotanya bertujuan
untuk mendapatkan kekuasaan dan kedudukan politik, mereka juga sebagai wadah
bagi penampungan aspirasi rakyat. Peran tersebut merupakan implementasi
nilai-nilai demokrasi yaitu peran serta masyarakat dalam melakukan kontrol
terhadap penyelenggaran negara melalui partai politik.
Fungsi
parpol dalam rangka pembangunan demokrasi terbagi empat: 1. sarana komunikasi
politik, 2. sarana sosialisasi politik, 3. sarana rekrutmen kader dan anggota
politik, 4. sarana pengatur konflik. Keempat fungsi partai politik tersebut
merupakan pengejawantahan dari nilai-nilai demokrasi yaitu partisipasi, kontrol
rakyat melalui partai politik terhadap kehidupan kenegaraan dan pemerintahan
serta adanya pelatihan penyelesaian konflik secara damai.
Sistem
kepartaian di suatu negara berbeda-beda. Ada sistem banyak partai (multi party sistem), ada sistem dwi
partai, (two party sistem), serta ada
yang hanya satu partai (one party sistem).
a.
Sistem satu partai
Dalam hal ini,
sama seperti tidak ada partai politik, karena hanya ada satu partai untuk
menyalurkan aspirasi rakyat. Sehingga aspirasi rakyat tidak dapat berkembang.
Segalanya ditentukan oleh satu partai tanpa adanya partai lain. Contohnya,
Partai Nazi di Jerman, Partai Fascis di Italia, Partai komunis: di Uni Soviet,
RRC, dan Vietnam.
b.
Sistem Dwi Partai
Ada
dua partai untuk menyalurkan aspirasi rakyat. Seperti di AS, ada Partai
Republik dan Partai Demokrat. Contohnya: Partai Konservatif (Tory) dan Partai
Buruh di Inggris, Partai Liberal dan Partai Buruh di Australia.
c.
Sistem Banyak (Multi) Partai
Terdapat
lebih dari dua partai. Pada masa orde baru Indonesia, hanya memiliki tiga
orsospol. Negara lainnya yang menganut sistem multi partai antar lain: Jerman,
Prancis, Jepang dan Malaysia. Dalam sistem multi partai, jika tidak ada partai
yang meraih suara mayoritas, maka terpaksa dibentuk pemerintahan koalisi.
Penentuan suara mayoritas adalah “setengah tambah satu”, yaitu bahwa
sekurang-kurangnya lebih dari separuh jumlah anggota parlemen.
2.
Pemilihan Umum (Pemilu)
Pemilihan
umum adalah pengejawantahan sistem demokrasi. Melalui pemilihan umum, rakyat
memilih wakilnya untuk duduk dalam parlemen dan dalam struktur pemerintahan.
Ada dua sistem pemilihan umum yaitu: 1. Pemilihan umum sistem distrik; 2.
Pemilihan umum system proporsional.
Dalam
pemilu sistem distrik, daerah pemilihan dibagi atas distrik-distrik tertentu.
Pada masing-masing distrik pemilihan, setiap parpol mengajukan satu calon.
Kelebihan sistem distrik adalah: 1. Para pemilih benar-benar memilih calon yang
disukainya, karena jelas siapa calon-caon untuk distrik yang bersangkutan. 2.
Calon terpilih merasa terikat pada kewajibannya untuk memperjuangkan
kepentingan warga daerah tersebut.
Sedangkan
kelemahan sistem distrik adalah: 1. Calon terpilih kurang merasa terikat kepada
kepentingan parpol yang mengajukannya sebagai calon, karena ia terpilih karena
kemampuan pribadinya dan menarik simpati rakyat. 2. Cara pemilihan seperti ini
kurang memberikan kesempatan bagi para calon dan bagi paerpol yang hanya
didukung oleh kelompok minoritas.
Selanjutnya
pemilu sistem proporsional yang dianut Indonesia adalah pemilu yang secara
tidak langsung memilih calon yang didukungnya, karena para calon ditentukan
berdasarkan nomor urut masing-masing parpol atau orsospol.
Kelebihan
sistem proporsional: 1. Hasil pemilihan melalui pemilihan dan penjatahan
proporsional memungkinkan terwakilnya kepentingan kelompok minoritas. 2.
Integritas secara citra partai lebih “solid”, karena para pemilih mendukung
parpol. Sedangkan kelemahan sistem proporsional: 1. Keterikatan para calon
lebih terarah pada partainya dibanding publik pemilih. 2. Kecenderungan
membentuk partai-partai baru lebih besar.
Sebagai
formalitas politik, pemilu hanya dijadikan alat legitimasi pemerintahan non
demokratis, sedangkan pemilunya sendiri dijaankan secara tidak demokratis.
Kemenangan satu kontestan lebih merupakan hasil rekayasa kekuasaan ketimbang
hasil pilihan politik rakyat. Pemenang pemilu sudah diketahui sebelum pemilunya
sendiri berlangsung.akhirnya pemilu yamg selama ini dilaksanakan di Indonesia,
lebuh menjadi ‘ritual’ demokrasi dan bukan sebagai sarana demokrasi yang
dijalankan secara relatif jujur, bersih, bebas, kompetitif dan adil.
Pemilu
1999, merupakan pemilu pertama Pasca-Orde Baru di bawah kepemimpinan Soeharto.
Pemilu saat ini merupakan peristiwa politik yang sangat penting. Dari
pelaksanaan pemilu 1999 yang ditandai dengan birokrasi dan militer yang lebih
netral, selain memberikan iklim yang kondusif bagi pelaksanaan pemilu juga
telah memungkinkan berlangsungnya sistem kompetitif yang lebih terbuka. Pemerintah
juga telah mendapatkan sokongan dan kepercayaan dari negara-negara lain atas
netralitas yang dibangun sebelum pemilu. Masyarakat juga mengakui bahwa pemilu merupakan sarana yang efektif.
Islam
dan Demokrasi
Secara garis
besar wacana Islam dan Demokrasi dapat dikelompokkan menjadi tiga kelompok
pemikiran: Pertama, Islam dan
Demokrasi adalah dua sistem politik yang berbeda, karena itu demokrasi sebagai
konsep Barat tidak tepat untuk dijadikan sebagai acuan dalamhidup
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Islam tidak bisa dipadukan dengan
demokrasi. Sementara Islam sebagai agama yang kaffah (sempurna). Pandangan in didukung oleh cendekiawan muslim
seperti Sayyid Qutb, Syekh Fadhallah Nuri, Thabathabai, al-Sya’rawi dan Ali
Benhadj, Syekh Muhammad Mutawalli al-Shara’wi. Kedua, Islam berbeda dengan demokrasi apabila demokrasi
mendefinisikan secara prosedural seperti dipahami dan dipraktikkkan di
negara-negara Barat. Islam merupakan sistem politik demokratis kalau demokrasi
didefinisikan secara substantif, yakni kedaulatan di tangan rakyat dan negara
merupakan terjemahan dari kedaulatan rakyat ini. Ketiga, Islam adalah sistem nilai yang membenarkan dan mendukung
sistem politik demokrasi seperti yang dipraktikkan negara-negara maju. Islam di
dalam dirinya demokratis tidak hanya karena prinsip syura (musyawarah), tetapi juga karena adanya konsep ijtihad dan
ijma (konsensus).
Terdapat
beberapa argumen teoritis yang bisa mejelaskan lambannya pertumbuhan dan
perkembangan demokrasi di dunia Islam. Pertama, pemahaman doktrinal menghambat
praktek demokrasi. Hal ini disebabkan oleh kebanyakan kaum muslim yang
cenderung memahami demokrasi sebagai sesuatu yang bertentangan dengan Islam. Kedua,
persoalan kultur. Demokrasi sebenarnya telah dicoba di negara-negara muslim
sejak paruh pertama abad dua puluh tapi gagal. Tampaknya ia tidak akan sukses
pada masa-masa mendatang, karena warisan kultural masyarakat muslim sudah
terbiasa dengan otokrasi dan ketaatan absolut kepada pemimpin. Ketiga, lambannya pertumbuhan demokrasi di
dunia Islam tak ada hubungan dengan teologi maupun kultur, melainkan lebih
terkait dengan sifat alamiah demokrasi itu sendiri. Untuk membangun demokrasi
diperlukan kesungguhan, kesabaran dan di atas segalanya adalah waktu.